JAKARTA - Setiap tahun, badan PBB yang
membawahi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO), mengeluarkan
data indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI).
Tahun lalu, Indonesia menempati posisi ke-69 dari 127 negara. Indeks ini jauh lebih rendah dibandingkan Brunei Darussalam
(34), dan terpaut empat peringkat dari Malaysia (65).
Rendahnya EDI Indonesia ini disebabkan rendahnya nilai Indonesia pada empat parameter penilaian yakni keterjangkauan dan ketersediaan akses pendidikan, termasuk angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan dasar; tingkat melek aksara pada kelompok usia 15 tahun ke atas; kesetaraan jender dalam melek literasi; dan kualitas pendidikan yang di antaranya diukur dari tingkat kelulusan, kemampuan baca tulis hitung (calistung), dan rasio murid-guru,
Menurut Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Profesor Soedijarto, rendahnya EDI Indonesia tersebut dikarenakan pemerintah tidak memberikan perhatian sungguh-sungguh pada pendidikan nasional. "Jangan salahkan menteri (pendidikan dan kebudayaan), tetapi pemerintah dan DPR. Tanyakan, mengapa mereka tidak memberikan perhatian sungguh-sungguh untuk menjalankan amanat konstitusi tentang pendidikan nasional?" ujar Soedijarto tegas, ketika berbincang dengan Okezone, Selasa (23/10/2012).
Salah satu bukti pemerintah tidak memberikan perhatian sungguh-sungguh dalam pendidikan nasional, kata Soedijarto, adalah pada jenjang pendidikan dasar. Dia menjelaskan, pasal 31 ayat 2 UUD 1945 dengan jelas meyebutkan bahwa, "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya." Namun, imbuhnya, pemerintah hanya memberikan bantuan operasional sekolah (BOS), bukan membiayai pendidikan dasar secara penuh.
"Ini yang harusnya dipertanyakan, mengapa hanya bantuan, bukan pembiayaan penuh. Dan menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud) tidak salah, karena dia hanya mengelola dana pendidikan yang diberikan pemerintah kepada institusinya," tutur Soedijarto.
Mantan Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan BP3K Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1975-1981) itu menilai, rendahnya EDI Indonesia juga menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dalam menjalankan roda pendidikan. "Pemerintah tidak pernah sepenuhnya ingin menjadikan pendidikan sebagai urat nadi bangsa," tandasnya.
Seharusnya, kata Soedijarto, masyarakat secara bersama-sama menekan pemerintah dan DPR untuk menerapkan pasal-pasal tentang pendidikan di UUD 1945. Jika amanat konstitusi diterapkan sebaik-baiknya, maka kualitas pendidikan nasional pun akan mengalami kemajuan.
"Konstitusi Indonesia sudah sangat baik dalam mengatur pendidikan nasional. Hanya saja, pemerintah dan DPR lupa pada amanat konstitusi itu," pungkasnya.(rfa)
Rendahnya EDI Indonesia ini disebabkan rendahnya nilai Indonesia pada empat parameter penilaian yakni keterjangkauan dan ketersediaan akses pendidikan, termasuk angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan dasar; tingkat melek aksara pada kelompok usia 15 tahun ke atas; kesetaraan jender dalam melek literasi; dan kualitas pendidikan yang di antaranya diukur dari tingkat kelulusan, kemampuan baca tulis hitung (calistung), dan rasio murid-guru,
Menurut Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Profesor Soedijarto, rendahnya EDI Indonesia tersebut dikarenakan pemerintah tidak memberikan perhatian sungguh-sungguh pada pendidikan nasional. "Jangan salahkan menteri (pendidikan dan kebudayaan), tetapi pemerintah dan DPR. Tanyakan, mengapa mereka tidak memberikan perhatian sungguh-sungguh untuk menjalankan amanat konstitusi tentang pendidikan nasional?" ujar Soedijarto tegas, ketika berbincang dengan Okezone, Selasa (23/10/2012).
Salah satu bukti pemerintah tidak memberikan perhatian sungguh-sungguh dalam pendidikan nasional, kata Soedijarto, adalah pada jenjang pendidikan dasar. Dia menjelaskan, pasal 31 ayat 2 UUD 1945 dengan jelas meyebutkan bahwa, "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya." Namun, imbuhnya, pemerintah hanya memberikan bantuan operasional sekolah (BOS), bukan membiayai pendidikan dasar secara penuh.
"Ini yang harusnya dipertanyakan, mengapa hanya bantuan, bukan pembiayaan penuh. Dan menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud) tidak salah, karena dia hanya mengelola dana pendidikan yang diberikan pemerintah kepada institusinya," tutur Soedijarto.
Mantan Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan BP3K Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1975-1981) itu menilai, rendahnya EDI Indonesia juga menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dalam menjalankan roda pendidikan. "Pemerintah tidak pernah sepenuhnya ingin menjadikan pendidikan sebagai urat nadi bangsa," tandasnya.
Seharusnya, kata Soedijarto, masyarakat secara bersama-sama menekan pemerintah dan DPR untuk menerapkan pasal-pasal tentang pendidikan di UUD 1945. Jika amanat konstitusi diterapkan sebaik-baiknya, maka kualitas pendidikan nasional pun akan mengalami kemajuan.
"Konstitusi Indonesia sudah sangat baik dalam mengatur pendidikan nasional. Hanya saja, pemerintah dan DPR lupa pada amanat konstitusi itu," pungkasnya.(rfa)
Sumber: okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar