Tampilkan postingan dengan label Guru dan Belajar Mengajar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Guru dan Belajar Mengajar. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Desember 2012

Tugas Guru Dalam Assesment Pembelajaran


Tugas guru sebagai pengajar adalah merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran yang mendidik, menilai proses dan hasil pembelajaran yang diperoleh melalui hasil Asesmen.

Dalam melaksanakan proses Asesmen (penilaian), tes merupakan alat ukur yang paling sering digunakan guru untuk mengukur hasil belajar siswa. Dari hasil tes, guru dapat mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Oleh karena itu, agar tes dapat mengukur hasil dengan tepat, maka tes harus dikembangkan dengan benar.


A. Bagaimana Membuat Perencanaan Tes yang Baik


Tes baru akan berarti bila terdiri dari butir-butir soal yang menguji tujuan yang penting dan mewakili seluruh bahan yang diujikan secara representatif. Pemilihan butir-butir soal dilakukan atas dasar pertimbangan pentingnya konsep, dalil atau teori yang diuji dalam hubungannya dengan peranannya terhadap bidang studi secara keseluruhan.

Untuk memudahkan guru dalam menyusun tes, maka perlu dibuat kisi-kisi soal yang akan menjadi acuan bagi guru dalam menulis butir soal. Kisi-kisi ini memuat beberapa informasi, antara lain cakupan materi yang akan diuji, kompetensi yang akan diuji, tingkat kesukaran soal, dan jumlah butir soal yang dibutuhkan

B. Dasar-dasar Penyusunan Tes

Tes merupakan alat ukur yang paling banyak digunakan untuk menentukan keberhasilan siswa dalam suatu proses pembelajaran. Adapun dasar-dasar penyusunan tes adalah sebagai berikut:
1. Tes harus dapat mengukur apa-apa yang dipelajari dalam proses pembelajaran sesuai dengan tujuan pembelajaran yang tercantum dalam rencana pembelajaran
2. Tes disusun sedemikian rupa sehingga benar-benar mewakili materi yang telah dipelajari
3. Pertanyaan tes hendaknya disesuaikan dengan aspek-aspek tingkat belajar yang diharapkan
4. Tes hendaknya disusun sesuai dengan tujuan penggunaan tes itu sendiri
5. Tes disesuaikan dengan pendekatan pengukuran yang dianut, apakah mengacu pada kelompok ataukah bukan
6. Tes hendaknya dapat digunakan untuk memperbaiki proses pembelajaran pada patokan tertentu


C. Bagaimana Menyusun Soal Objektif


Dilihat dari konstruksi, tes objektif tersusun atas pokok soal (stem) yang disertai dengan empat sampai lima pilihan jawaban (option). Diantara empat/lima jawaban tersebut harus terdapat satu jawaban yang benar atau yang paling benar (sebagai kunci) dan tiga jawaban tidak benar (pengecoh). Pokok soal (stem) dapat dirumuskan dalam dua bentuk. Pertama stem dirumuskan dalam bentuk kalimat tidak selesai, dan yang kedua stem dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya. Jika stem dirumuskan dalam bentuk kalimat tidak selesai, maka akhir kalimat harus diikuti dengan 4 buah titik dan awal dari setiap option harus dimulai dengan huruf kecil tanpa diberi titik pada akhir setiap option. Jika stem dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya maka akhir stem diikuti dengan tanda tanya pada setiap awal option dimulai dengan huruf besar sedangkan pada setiap option diberi tanda titik.

yang perlu dilakukan guru sebelum penulisan soal dimulai ?
1. membuat kisi-kisi terlebih dahulu. Agar kisi-kisi yang dibuat menjadi baik, maka kisi-kisi tersebut harus disesuaikan
dengan kurikulum bidang studi masing-masing.
2. menyusun kompetensi/TIK dengan memperhatikan 4 komponen yang sedapat mungkin harus dipenuhi, antara lain:
a. Sasaran atau peserta tes (siswa kelas………)
b. Tingkah laku yang diharapkan. Perumusan diharapkan mencakup kata kerja operasional
c. Kondisi/Hasil belajar. Yang dimaksud adalah kondisi yang diberikan pada saat tingkah laku siswa diukur bukan pada
saat belajar
d. Tingkat keberhasilan (Indikator soal) merupakan standar tingkah laku tertentu yang dapat diterima.

Keempat komponen tersebut sering disingkat dengan ABCD (Audience, Behaviour, condition, dan Degree) Indikator merupakan kompetensi dasar yang lebih spesifik. Artinya apabila serangkaian indikator dalam satu kompetensi dasar sudah tercapai, maka target kompetensi dasar tersebut sudah tercapai.
Jenjang kemampuan ini mengacu kepada jenjang kemampuan berpikir yang dikembangkan oleh Bloom, dkk, yaitu Ingatan (C1), Pemahaman (C2), Penerapan (C3), Analisis (C4), Sintesis (C5), dan Evaluasi (C6).

Tingkat kesukaran ditentukan berdasarkan pada pertimbangan guru sebagai ahli materi (expert judgment). Sebagian besar (50%-60%) butir soal yang akan ditulis diharapkan mempunyai tingkat kesukaran sedang, sisanya mempunyai tingkat kesukaran yang sukar (20%-25%), dan mudah (20%-25%). Tingkat kesukaran dikategorikan sedang jika diperkirakan siswa yang dapat menjawab butir soal tersebut kurang dari 50%. Tingkat kesukaran soal dikategorikan sukar jika dapat dijawab hanya oleh sebagian kecil siswa (25%). Sedangkan tingkat kesukaran soal dikategorikan mudah jika diperkirakan soal tersebut dapat dijawab dengan benar oleh sebagian besar siswa (75%)

3. Setelah membuat kisi-kisi, maka guru harus menulis butir soal yang baik Beberapa bentuk/ragam soal tes objektif, terdiri
dari:
a. melengkapi pilihan
b. hubungan antar hal
c. analisis kasus
d. pilihan berganda, dan
e. membaca diagram gambar.

Guru Perlu Kreatif Untuk Meredakan Kebosanan



Cukup banyak guru-guru mengatakan merasa capek atau lesu apabila harus segera masuk kelas untuk melaksanakan proses belajar mengajar. Dalam absensi, hampir setiap hari ada guru yang ijin karena berhalangan tidak dapat datang ke sekolah. Pada umumnya alasan serius atau alasan berpura-pura sehingga berhalangan untuk tidak hadir di sekolah. Sering alasan lain adalah untuk memohon ijin karena ada urusan keluarga yang sangat mendesak. Kalau kita fikirkan tidak ada seorangpun di dunia yang luput dari urusan keluarga. Tetapi rasanya tidak logis kalau seorang guru sempat dalam satu bulan membuat alasan sepele dan berhalangan untuk mengajar sebanyak sekian kali. Dan alasan sepele ini cukup banyak dilakukan oleh guru-guru.

Dapat dikatakan buat sementara, bahwa keabsenan guru-guru dari sekolah karena tersandung oleh kebosanan selama proses belajar mengajar. Kemalasan guru-guru yang lain sering terekspresi dalam bentuk kelesuan setiap kali harus menunaikan kewajiban dalam Proses Belajar Mengajar (PBM). Meskipun bel tanda masuk telah berbunyi beberapa menit yang lalu namun masih banyak guru-guru yang ingin menyelesaikan gosip-gosip ringan sesama guru. Malah ada sebagian guru yang sengaja hilir-mudik atau berpura-pura sibuk mencari sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Sampai akhirnya selalu terlambat tiba di kelas dan kemudian sengaja pula agak cepat untuk meninggalkan kelas.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kebosanan pada seorang guru yaitu:
  1. Faktor dari Murid
  2. Faktor dari Guru
  3. Faktor kompetensi guru pada pelajaran tertentu
Di beberapa sekolah ada yang membagi kelas disesuaikan dengan kemampuan seorang siswa, yaitu siswa dengan kemampuan yang lebih baik dimasukkan dalam kelas A dan murid dengan kemampuan sedang atau kurang dimasukkan dalam kelas B dan seterusnya. Hal ini dapat memicu gairah guru untuk melaksanakan PBM hanya tertuju untuk kelas unggulan. Sedangkan untuk kelas-kelas non unggulan yang cukup banyak siswa dengan kemampuan rendah terpaksa dimasuki oleh guru dengan rasa lesu dan letih bahkan bosan. Tentu tidak semua guru menunjukkan gejala yang demikian.

Faktor yang menyebabkan guru merasa bosan dalam PBM mungkin karena kelelahan. Barangkali ia memiliki jumlah jam yang terlalu banyak. Walau pada sekolah pengabdiannya hanya mengajar beberapa jam saja, tetapi karena tuntutan hidup ia menjadi guru sukarela pula pada sekolah lain. Atau bisa jadi karena kelelahan fisik setelah menjadi guru selama puluhan tahun. Sering kita lihat para guru-guru tua yang belum sudi untuk pensiun merasa segan untuk melakukan PBM. Bahkan pada guru-guru berstatus Pegawai Negeri ada yang mempunyai pola pikir tidak patut dicontoh yaitu mengajar sungguh-sungguh atau tidak toh tetap digaji. Namun secara mayoritas guru kelihatan kurang termotivasi untuk meningkatkan kualitas dirinya. Mereka tidak banyak membaca, walaupun sebatas membaca koran dan majalah, sehingga jadilah ilmu pengetahuan mereka sempit dan dangkal. Kebanyakan guru-guru selesai mengajar ya… selesai begitu saja. Begitulah kegiatan rutin mereka hari demi hari sampai akhirnya rasa bosan menyelinap ke dalam fikiran. Ada juga yang membuang-buang waktunya hanya untuk membicarakan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan.

Ada guru yang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup luas dan cukup hangat dalam bergaul bersama siswa. Namun juga sering mengeluh bosan untuk melakukan PBM sehingga mengajar secara serampangan dengan metode kuno sepanjang hari. Guru yang seperti ini sebaiknya harus segera melakukan introspeksi diri dan kemudian memutuskan apakah karir sebagai guru cocok baginya atau tidak. Tetapi pada umumnya mereka tetap bertahan mengajar dalam kebosanan karena tidak mampu mencari pekerjaan jenis lain yang cocok bagi diri, maklum banyak orang terserang sindrom pegawai negeri dengan alasan jaminan untuk hari tua. Setiap hari banyak terdengar keluhan guru-guru. Ada yang mengeluhkan badan kurang enak karena sakit kepala, sakit gigi, perut terasa kembung atau badan terasa pegal-pegal dimana ini semua adalah kompensasi dari bentuk rasa bosan. Mereka bosan untuk menunaikan tanggung jawab. Dan penyebab lain dari rasa bosan ini adalah karena umumnya guru-guru kurang kreatif sehingga mereka jarang yang menjadi guru profesional tetapi ingin selalu disebut profesional. Memang secara umum guru-guru terlihat kurang kreatif dan sebagian kecil tentu ada yang kreatif. Rata-rata guru menerapkan peranan tradisional dalam mengajar. Mereka masih berfilsafat bahwa guru masih sebagai sumber ilmu, dalam penguasaan ilmu siswa harus menyalin catatan guru dan menghafalkannya tanpa melupakan titik dan komanya sekalipun, bahkan yang paling parah siswa ditugasi pelajaran yang ada dibuku. Penanganan masalah yang ditemui selama PBM pun juga secara tradisional. Kalau murid bersalah musti diberi nasehat dan kebanyakan sistem pemberian nasehat dalam bentuk komunikasi satu arah, dimana yang sering terlihat ketika guru bertutur kata adalah siswa diam atau tidak boleh menjawab. Tetapi sekarang banyak guru yang nasehatnya tidak bertuah dalam bertutur kata karena kesempitan ilmu dan wawasannya atau karena tidak dilandasi keikhlasan. Model pengajaran sudah terlihat semakin basi karena menggunakan metode itu ke itu juga. Hasil mengikuti penataran apakah dalam bentuk KKG, Workshop dan seminar jarang sekali di aplikasikan dalam kelas.

Kompetensi guru pada bidang pelajaran tertentu juga menjadi faktor penyebab kebosanan ini. Guru yang mengajar tidak sesuai pada bidangnya biasanya terkesan mengajar seadanya dan mengikuti apa yang ada dalam buku siswa, tanpa berusaha mengembangkannya. Ketika mengajar mata pelajaran yang dikuasainya seorang kuru akan terlihat bersemangat sekali tetapi pada pelajaran yang kurang dikuasai biasanya terkesan seadanya. Hal ini sering terjadi pada sekolah yang menerapkan sistim guru kelas.

Ada beberapa cara yang mungkin bisa digunakan untuk meredakan kebosanan yaitu:
  1. Meningkatkan kemampuan dan wawasan Guru yang ideal adalah selalu membiasakan untuk membelajarkan diri. Adalah sangat tepat bila seorang guru selain memahami bidang studinya juga mendalami pengetahuan umum lainnya sebagai untuk menambah wawasan dirinya. Guru yang luas wawasan dan ilmu pengetahuannya tidak akan pernah kehabisan bahan dalam proses belajar mengajar. Kalau sekarang ada ungkapan yang mengatakan bahwa mengajar itu adalah seni, maka mustahillah guru yang kering akan ilmu dan sempit wawasan dapat mengaplikasikannya sebagi seni.
  2. Melakukan penyegaran dalam bentuk mengikuti penataran, workshop, seminar, KKG, dan peningkatan kerja lainnya.
  3. Melatih diri untuk meningkatkan kemampuan untuk menulis, sehingga dapat mengisi waktu-waktu yang kosong untuk menulis artikel, cerita, dll.
  4. Menggali informasi dari surat kabar, majalah, buku-buku perpustakaan, dan browsing internet disela-sela waktu kosong.
  5. Mengembangkan ide dengan membuat alat atau media pembelajaran dan LKS.
  6. Beri selingan dengan permainan (tepuk, gerak tubuh, dan kuis) dalam setiap PBM.
  7. Gunakan multi metode dan multi media dalam PBM.
  8. Mengisi waktu luang dengan berdiskusi antar sesama guru lebih bermanfaat daripada hanya ngrumpi.
  9. Jangan membeda-badakan murid berdasarkan kemampuannya, anggaplah mereka anak-anak kita sendiri
  10. Jalin hubungan yang erat antara guru, siswa, dan orang tua siswa.
Tentunya cara-cara diatas hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, tujuan akhirnya adalah kita dapat terhindar dari sindrom kebosanan yang dapat menjangkiti siapa saja. Pada akhirnya guru yang Profesional dan Bersertifikasi tidak hanya sebagai label untuk menambah penghasilan, tetapi betul-betul sebagai amanah yang harus dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan.

Guru Harus Mengenal Karakteristik Belajar Siswa



Seorang guru dituntut memiliki minimal dua kompetensi yang digunakan dalam proses pembelajaran. Kompetensi tersebut adalah kompetensi yang bersifat administrasi dan non administrasi. Kompetensi yang bersifat administrasi digunakan untuk kontrol dalam proses pembelajaran, membantu guru pengganti dan menambah nilai angka kredit. Sedangkan kompetensi yang bersifat non administrasi sebenarnya yang lebih penting dalam menentukan keberhasilan proses pembelajaran dan lebih dominan. Di antaranya adalah keterampilan mengetahui karakteristik belajar siswa. Memang dalam sistem pembelajaran ada program remidial dan pengayaan untuk perbaikan dan peningkatan prestasi siswa. Namun program tersebut tidak akan berjalan lancar bila hanya semata-mata menjalankan program saja tanpa melihat keheterogenan siswa.

Terkadang guru sering salah paham dengan siswa berkenaan dengan gaya belajar mereka. Seorang guru terkadang marah bila ada seorang siswa yang kurang memperhatikan pelajaran yang sedang disampaikan. Atau guru dengan mudahnya memvonis seseorang siswa itu pandai atau bodoh. Atau siswa itu rajin atau malas dalam belajarnya. Barangkali itu terjadi karena ketidaktahuan guru dengan keheterogenan dari karakteristik belajar siswa. Barangkali kita kenal dengan Albert Einstein, ia dicap oleh gurunya sebagai siswa yang idiot ternyata bersamaan waktu berjalan beliau tercatat dalam sejarah sebagai seorangan fisikawan terbesar abad 20 .Dalam buku Quantum Learning atau Quantum Teaching (diterjemahkan oleh Penerbit Kaifa Bandung) dijelaskan tentang karakteristik belajar seseorang atau gaya belajar seseorang. 

Dalam buku tersebut diuraikan bahwa siswa memiliki tiga tipe belajar atau kombinasi dari ketiganya yaitu tipe visual, tipe auditorial dan kinestetik. Ketiga tipe ini memiliki ciri khas dan penanganan khusus pula.
Gaya belajar tipe visual adalah gaya belajar yang dominan mengandalkan visual. Ia memiliki ciri seperti :
  1. Berbicara dengan cepat
  2. Pengeja yang baik
  3. Teliti terhadap yang detail
  4. Pembaca cepat dan tekun, lebih suka membaca ketimbang dibacakan
  5. Mengingat apa yang dilihat daripada yang didengar
  6. Pelupa dalam menyampaikan pesan verbal
  7. Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat
  8. Senang terhadap seni daripada musik
  9. Sukar atau tidak pandai memilih kata-kata ketika berbicara
  10. Senang memperhatikan melalui demonstrasi daripada ceramah.
  11. Pembawaannya rapi dan teratur.
  12. Suka mengantuk bila mendengarkan penjelasan yang panjang lebar
Penanganan belajarnya adalah dengan dibantu kombinasi peraga visual, gambar atau simbol-simbol.
Gaya belajar tipe auditorial adalah gaya belajar yang dominan mengandalkan auditorial atau pendengaran. Ia memiliki ciri seperti :
  1. Berbicara dengan diri sendiri (Jw : gremengan) saat bekerja atau belajar
  2. Menggerakkan bibir mereka ketika membaca dan mendengarkan.
  3. Pandai dalam menyampaikan pesan verbal
  4. Dapat mengulangi dan meniru nada, birama atau warna suara tertentu ketika bercerita.
  5. Memiliki  kesulitan ketika menulis tapi pandai bercerita dan fasih ketika berbicara
  6. Senang berdiskusi, berbicara dan menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar Lebih senang musik dari pada seni yang melibatkan visual
Penanganan belajarnya adalah sering diajak diskusi atau menyampaikan sesuatu atau pendapatnya mengenai pelajaran.
Gaya belajar tipe kinestetik adalah gaya belajar yang dominan praktek atau eksperimen atau yang dapat diujicoba sendiri. Ia memiliki ciri seperti :
  1. Berbicaranya dengan perlahan dan cermat
  2. Ketika berbicara dengan seseorang biasanya ia menyentuh atau memegang orang yang diajak berbicara atau tangannya sibuk dengan memainkan sesuatu umpama pena.
  3. Berorientasi pada fisik dan banyak gerak
  4. Mengahafal sambil berjalan dan melihat
  5. Belajar melalui manipulasi atau praktik
  6. Senang berkreasi
  7. Banyak menggunakan isyarat tubuh
  8. Tidak dapat duduk diam dalam waktu yang lama
  9. Kemungkinan besar tulisannya jelek
  10. Tertantang dengan suatu aktivitas yang menyibukkan dan selalu ingin mencoba atau bereksperimen sendiri.
  11. Senang dengan aktivitas fisik, olahraga atau kerja praktik
Penanganan  belajarnya adalah sering dibantu dengan melibatkan mereka dalam belajar secara langsung atau praktik. Khusus untuk tipe ini biasanya prestasi mereka di bawah rerata dan kompensasinya biasanya mereka agak sedikit sebagai pembuat keributan tetapi mereka menonjol di bidang seni/art, olahraga atau ketrampilan.

Dengan mengetahui karakteristik belajar siswa ini guru akan dapat memberikan bekal kepada siswanya untuk dapat menghadapi perubahan cara atau pola belajar di tiap jenjang pendidikan. Siswa tidak akan mengalami shock study terhadap perubahan pola pembelajaran tersebut. Dan yang jelas dapat menangani keheterogenan cara belajar siswa.