Minggu, 09 Desember 2012

Pendidikan Karakter, Pemerintah Jangan Hanya Berteori



JAKARTA - Sejak diluncurkan enam tahun lalu, program pendidikan karakter yang diusung pemerintah belum juga menampakkan hasil. Salah satu buktinya, tawuran pelajar kian merajalela.

Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Rohmani menegaskan, konsep pendidikan karakter yang digadang-gadang pemerintah masih sebatas teori, bahwa hal tersebut sangat penting bagi Indonesia. Pemerintah pun, kata Rohmani, seharusnya tidak sekadar berteori tentang pendidikan karakter dan membuat program yang jelas dalam membangun karakter generasi muda bangsa.

Rohmani membeberkan, salah satu bukti pendidikan karakter yang diusung pemerintah hanya sebatas teori adalah kian maraknya tawuran pelajar. Sepanjang 2012 saja, sudah ada 18 korban jiwa akibat tawuran pelajar.

"Hampir setiap kementerian memiliki program pendidikan karakter. Namun tak satu pun yang menyentuh persoalan. Saya mulai curiga jika pemerintah tak memahami hubungan pendidikan karakter dengan esensi pendidikan," kata Rohmani, dalam keterangan tertulisnya kepada Okezone, Senin (1/10/2012).

Perwakilan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengimbuh, sejak wacana pendidikan karakter muncul enam tahun lalu, pendidikan karakter hanya bersifat seremonial dan menjadi proyek bagi birokrat terkait. Padahal, kata Rohmani, pendidikan karakter bukan sekadar pengetahuan. Namun, selama ini pendidikan karakter di Tanah Air hanya  sekadar wawasan.

"Pemerintah harus mengubah strategi pendidikan karakter. Model seminar harus ditinggalkan. Pendekatan pendidikan ekstrakurikuler harus  ditingkatkan," tegasnya.
(rfa)

Sumber: okezone.com

Kearifan Lokal & Perspektif Global dalam Pendidikan



JAKARTA - Era globalisasi memungkinkan terjadinya perubahan yang sangat cepat di berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan. Namun, tidak jarang perubahan tersebut bersifat paradoks bagi sebuah negara.

Menyadari pentingnya kerjasama antara ahli pendidikan dan praktisi pendidikan dari seluruh dunia untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menggelar seminar internasional untuk membahas tentang tren pendidikan terkini. Pada seminar bertajuk "International Conference on Current Issues in Education" (ICCIE 2012) diangkat tiga tema utama, yaitu "Studi Komparatif: Isu Global dan Lokal", "Isu Agama dan Moral dalam Dunia Pendidikan", dan "Sosiokultural dalam Pendidikan".

Seminar yang merupakan rangkaian Dies Natalis UNY ke-48 ini terselenggara berkat kolaborasi Jurusan Filsafat Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) dengan program S-3 Ilmu Pendidikan Program Pascasarjana UNY. Pada acara yang berlangsung selama dua hari tersebut, hadir ahli pendidikan dari berbagai negara seperti, Filipina, Belanda, Jepang, Bangladesh, Singapura, Iran, India, Taiwan, Nigeria, dan Afghanistan.

Rektor UNY Rochmat Wahab yang didapuk sebagai keynote speaker memaparkan materi mengenai isu terkini tentang pendidikan. Dia menyebut, terdapat lima faktor penting dalam pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, komunitas, lembaga keagamaan, dan media massa. "Pendidikan ditujukan untuk meningkatkan seseorang menjadi manusia seutuhnya. Oleh karena itu, pendidikan yang terintegrasi secara komprehensif sangatlah diperlukan," ujar Rochmat, seperti dinukil dari situs UNY, Senin (24/9/2012).

Dia menyimpulkan, sistem pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menciptakan suatu insan dalam menjaga kearifan lokal sekaligus memiliki perspektif global. "Untuk pendidikan yang lebih baik, kita memerlukan demokratisasi pendidikan, pendidikan multikultural, dan pendidikan perdamaian. Dalam mempersiapkan generasi mendatang, kita membutuhkan pendidikan yang lebih kreatif dan e-education," imbuhnya.(mrg)

Indeks Pendidikan RI Rendah, Jangan Salahkan Mendikbud



JAKARTA - Setiap tahun, badan PBB yang membawahi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO), mengeluarkan data indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI). Tahun lalu, Indonesia menempati posisi ke-69 dari 127 negara. Indeks ini jauh lebih rendah dibandingkan Brunei Darussalam (34), dan terpaut empat peringkat dari Malaysia (65).

Rendahnya EDI Indonesia ini disebabkan rendahnya nilai Indonesia pada empat parameter penilaian yakni keterjangkauan dan ketersediaan akses pendidikan, termasuk angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan dasar; tingkat melek aksara pada kelompok usia 15 tahun ke atas; kesetaraan jender dalam melek literasi; dan kualitas pendidikan yang di antaranya diukur dari tingkat kelulusan, kemampuan baca tulis hitung (calistung), dan rasio murid-guru,

Menurut Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Profesor Soedijarto, rendahnya EDI Indonesia tersebut dikarenakan pemerintah tidak memberikan perhatian sungguh-sungguh pada pendidikan nasional. "Jangan salahkan menteri (pendidikan dan kebudayaan), tetapi pemerintah dan DPR. Tanyakan, mengapa mereka tidak memberikan perhatian sungguh-sungguh untuk menjalankan amanat konstitusi tentang pendidikan nasional?" ujar  Soedijarto tegas, ketika berbincang dengan Okezone, Selasa (23/10/2012).

Salah satu bukti pemerintah tidak memberikan perhatian sungguh-sungguh dalam pendidikan nasional, kata Soedijarto, adalah pada
jenjang pendidikan dasar. Dia menjelaskan, pasal 31 ayat 2 UUD 1945 dengan jelas meyebutkan bahwa, "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya." Namun, imbuhnya, pemerintah hanya memberikan bantuan operasional sekolah (BOS), bukan membiayai pendidikan dasar secara penuh.

"Ini yang harusnya dipertanyakan, mengapa hanya bantuan, bukan pembiayaan penuh. Dan menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud) tidak salah, karena dia hanya mengelola dana pendidikan yang diberikan pemerintah kepada institusinya," tutur Soedijarto.

Mantan Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan BP3K Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1975-1981) itu menilai, rendahnya EDI Indonesia juga menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dalam menjalankan roda pendidikan. "Pemerintah tidak pernah sepenuhnya ingin menjadikan pendidikan sebagai urat nadi bangsa," tandasnya.

Seharusnya, kata Soedijarto, masyarakat secara bersama-sama menekan pemerintah dan DPR untuk menerapkan pasal-pasal tentang pendidikan di UUD 1945. Jika amanat konstitusi diterapkan sebaik-baiknya, maka kualitas pendidikan nasional pun akan mengalami kemajuan.

"Konstitusi Indonesia sudah sangat baik dalam mengatur pendidikan nasional. Hanya saja, pemerintah dan DPR lupa pada amanat konstitusi itu," pungkasnya.(rfa)

Sumber: okezone.com