Pernahkah mendengar istilah MSG? kebanyakan orang awam mungkin lebih mengenal sebagai micin. Beberapa kali muncul kekhawatiran
di media, terutama oleh Lembaga
Konsumen, tentang
berbagai produk makanan ringan dalam kemasan yang biasa dikonsumsi anak-anak yang tidak mencantumkan
kandungan MSG (vetsin). Kritik tersebut menyatakan, konsumsi MSG dalam jumlah
tertentu mengancam kesehatan anak-anak. Menteri Kesehatan pun sudah memberi
pernyataan yang meminta BPOM menarik produk makanan kemasan yang tidak
mencantumkan kandungan MSG.
Seberapa jauhkah sebenarnya MSG membahayakan kesehatan manusia ?
A. Sejarah
http://www.radar-bogor.co.id/uploads/berita/dir18032011/img18032011709361.jpg |
Jurnal Chemistry Senses
menyebutkan, Monosodium Glutamate (MSG) mulai terkenal tahun 1960-an,
tetapi sebenarnya memiliki sejarah panjang. Selama berabad-abad orang Jepang
mampu menyajikan masakan yang sangat lezat. Rahasianya adalah penggunaan
sejenis rumput laut bernama Laminaria japonica. Pada tahun 1908,
Kikunae Ikeda, seorang profesor di Universitas Tokyo, menemukan kunci kelezatan
itu pada kandungan asam glutamat. Penemuan ini melengkapi 4 jenis rasa
sebelumnya – asam, manis, asin dan pahit – dengan umami (dari akar
kata umai yang dalam bahasa Jepang berarti lezat). Sementara menurut
beberapa media populer, sebelumnya di Jerman pada tahun 1866, Ritthausen juga
berhasil mengisolasi asam glutamat dan mengubahnya menjadi dalam bentuk
monosodium glutamate (MSG), tetapi belum tahu kegunaannya sebagai penyedap
rasa.
Sejak penemuan itu, Jepang memproduksi asam glutamat melalui ekstraksi
dari bahan alamiah. Tetapi karena permintaan pasar terus melonjak, tahun 1956
mulai ditemukan cara produksi L-glutamic acid melalui fermentasi. L-glutamic
acid inilah inti dari MSG, yang berbentuk butiran putih mirip garam. MSG
sendiri sebenarnya tidak memiliki rasa. Tetapi bila ditambahkan ke dalam
makanan, akan terbentuk asam glutamat bebas yang ditangkap oleh reseptor khusus
di otak dan mempresentasikan rasa dasar dalam makanan itu menjadi jauh lebih
lezat dan gurih.
Sejak tahun 1963, Jepang bersama Korea mempelopori produksi masal MSG yang
kemudian berkembang ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Setidaknya
sampai tahun 1997 sebelum krisis, setiap tahun produksi MSG Indonesia mencapai
254.900 ton/tahun dengan konsumsi mengalami kenaikan rata-rata sekitar 24,1%
per tahun.
B. Efek MSG pada Hewan Uji Coba
Di otak memang ada asam amino glutamat yang berfungsi sebagai neurotransmitter
untuk menjalarkan rangsang antar neuron. Tetapi bila terakumulasi di
sinaps (celah antar sel syaraf) akan bersifat eksitotoksik bagi
otak. Karena itu ada kerja dari glutamate transporter protein untuk menyerapnya
dari cairan ekstraseluler, termasuk salah satu peranannya untuk keperluan
sintesis GABA (Gamma Amino Butyric Acid) oleh kerja enzim Glutamic Acid
Decarboxylase (GAD). GABA ini juga termasuk neurotransmitter sekaligus memiliki
fungsi lain sebagai reseptor glutamatergik, sehingga bisa menjadi target dari
sifat toksik glutamat. Disamping kerja glutamate transporter protein, ada enzim
glutamine sintetase yang bertugas merubah amonia dan glutamat menjadi glutamin
yang tidak berbahaya dan bisa dikeluarkan dari otak. Dengan cara ini, meski
terakumulasi di otak, asam glutamat diusahakan untuk dipertahankan dalam kadar
rendah dan non-toksik. Reseptor sejenis untuk glutamat juga ditemukan di
beberapa bagian tubuh lain seperti tulang, jantung, ginjal, hati, plasenta dan
usus. Pada konsumsi MGS, asam glutamat bebas yang dihasilkan sebagian akan
terikat di usus, dan selebihnya dilepaskan ke dalam ke darah. Selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh termasuk akan menembus sawar darah otak dan terikat
oleh reseptornya. Sayangnya, seperti disebutkan sebelumnya, asam glutamat bebas
ini bersifat eksitotoksik sehingga dihipotesiskan akan bisa merusak neuron otak
bila sudah melebihi kemampuan otak mempertahankannya dalam kadar rendah.
Jurnal Neurochemistry International bulan Maret 2003 melaporkan,
pemberian MSG sebanyak 4 mg/g berat badan ke bayi tikus menimbulkan
neurodegenerasi berupa jumlah neuron lebih sedikit dan rami dendrit (jaringan
antar sel syaraf otak) lebih renggang. Kerusakan ini terjadi perlahan sejak
umur 21 hari dan memuncak pada umur 60 hari.
Sementara bila disuntikkan kepada tikus dewasa, dosis yang sama
menimbulkan gangguan pada neuron dan daya ingat. Pada pembedahan, ternyata
terjadi kerusakan pada nucleus arkuatus di hipothalamus (pusat pengolahan
impuls syaraf).
Sedang menurut Jurnal Brain Research, pemberian MSG 4 mg/g terhadap tikus
hamil hari ke 17-21 menunjukkan bahwa MSG mampu menembus plasenta dan otak
janin menyerap MSG dua kali lipat daripada otak induknya. Juga 10 hari setelah
lahir, anak-anak tikus ini lebih rentan mengalami kejang daripada yang induknya
tidak mendapat MSG. Pada usia 60 hari, keterampilan mereka juga kalah dari
kelompok lain yang induknya tidak mendapat MSG .
Tetapi kelompok anak-anak tikus yang mendapat MSG pada penelitian di atas
justru lebih gemuk. Ternyata, MSG juga meningkatkan ekskresi insulin sehingga
tikus-tikus tersebut cenderung menderita obesitas. Pada penelitian lain, bila
diteruskan sampai 3 bulan, ternyata akan terjadi resistensi terhadap insulin
dan berisiko menderita diabetes.
Penelitian lain di Jurnal of Nutritional Science Vitaminologi bulan April
2003, pemberian MSG terhadap tikus juga mengganggu metabolisme lipid dan
aktivitas enzim anti-oksidan di jaringan pembuluh darah, menjadikan risiko
hipertensi dan penyakit jantung. Kerusakan enzim anti-oksidan ini ternyata yang
juga menimbulkan kerusakan kronis di jaringan syaraf. Secara umum, anti oksidan
memang berperan penting bagi kesehatan di seluruh bagian tubuh.
Ada juga laporan dari Experimental Eye Research tahun 2002 bahwa konsumsi
tinggi MSG berakibat kerusakan pada fungsi dan morfologi retina. Akibatnya
banyak terjadi glaukoma (peninggian tekanan dalam bola mata). Proses ini
terjadi secara perlahan, yang kalau pada manusia diduga akan terjadi pada umur
sekitar 40 tahun, setelah konsumsi MSG sejak anak-anak.
C. Efek
terhadap Manusia
Pada tahun 1959, Food and Drug Administration di Amerika mengelompokkan
MSG sebagai “generally recognized as safe” (GRAS), sehingga tidak perlu aturan
khusus. Tetapi tahun 1968, muncul laporan di New England Journal of Medicine
tentang keluhan beberapa gangguan setelah makan di restoran china sehingga
disebut “Chinese Restaurant Syndrome”. Karena kompisisinya dianggap signifikan
dalam masakan itu, MSG diduga sebagai penyebabnya, tetapi belum dilaporkan
bukti ilmiahnya.
Untuk itu, tahun 1970 FDA menetapkan batas aman konsumsi MSG 120 mg/kg
berat badan/hari yang disetarakan dengan konsumsi garam. Mengingat belum ada
data pasti, saat itu ditetapkan pula tidak boleh diberikan kepada bayi kurang
dari 12 minggu. Tahun 1980, laporan-laporan tentang hubungan MSG dengan Chinese
Restaurant Syndrome ini kembali banyak muncul berupa sakit kepala, palpitasi
(berdebar-debar), mual dan muntah. Pada tahun ini pula diketahui bahwa
glutamate berperan penting pada fungsi sistem syaraf, sehingga muncul
pertanyaan, seberapa jauh MSG berpengaruh terhadap otak.
Selanjutnya di tahun 1986, Advisory Committee on Hypersensitivity to Food
Constituent di FDA menyatakan, pada umumnya konsumsi MSG itu aman, tetapi bisa
terjadi reaksi jangka pendek pada sekelompok orang. Hal ini didukung juga oleh
laporan dari European Communities (EC) Scientific Committee for Foods tahun
1991. Untuk itu, FDA memutuskan tidak menetapkan batasan pasti untuk konsumsi
MSG. Usaha penelitian masih dilanjutkan, bekerja sama dengan FASEB (Federation
of American Societies for Experimental Biology) sejak tahun 1992.
Laporan FASEB 31 Juli 1995 menyebutkan, secara umum MSG aman dikonsumsi.
Tetapi memang ada dua kelompok yang menunjukkan reaksi akibat konsumsi MSG ini.
Pertama adalah kelompok orang yang sensitif terhadap MSG yang berakibat muncul
keluhan berupa : rasa panas di leher, lengan dan dada, diikuti kaku-kaku otot
dari daerah tersebut menyebar sampai ke punggung. Gejala lain berupa rasa panas
dan kaku di wajah diikuti nyeri dada, sakit kepala, mual, berdebar-debar dan
kadang sampai muntah. Gejala ini mirip dengan Chinese Restaurant Syndrome,
tetapi kemudian lebih tepat disebut MSG Complex Syndrome. Sndrom ini terjadi
segera atau sekitar 30 menit setelah konsumsi, dan bertahan selama sekitar 3 –
5 jam. Berbagai survei dilakukan, dengan hasil persentase kelompok sensitif ini
sekitar 25% dari populasi.
Sedang kelompok kedua adalah penderita asma, yang banyak mengeluh
meningkatnya serangan setelah mengkonsumsi MSG. Munculnya keluhan di kedua
kelompok tersebut terutama pada konsumsi sekitar 0,5 â???2,5 g MSG. Sementara
untuk penyakit-penyakit kelainan syaraf seperti Alzheimer dan Hungtinton chorea,
tidak didapatkan hubungan dengan konsumsi MSG.
D. Kontroversi
Sejauh ini, belum banyak penelitian langsung terhadap manusia. Hasil dari
penelitian dari hewan, memang diupayakan untuk dicoba pada manusia. Tetapi
hasil-hasilnya masih bervariasi. Sebagian menunjukkan efek negatif MSG seperti
pada hewan, tetapi sebagian juga tidak berhasil membuktikan. Yang sudah cukup
jelas adalah efek ke terjadinya migren terutama pada usia anak-anak dan remaja
seperti laporan Jurnal Pediatric Neurology. Memang disepakati bahwa usia
anak-anak atau masa pertumbuhan lebih sensitif terhadap efek MSG daripada
kelompok dewasa. Sementara untuk efek terjadinya kejang dan urtikaria
(gatal-gatal dan bengkak di kulit seperti pada kasus alergi makanan), masih
belum bisa dibuktikan.
Di sisi lain, Jurnal Appetite tahun 2002 melaporkan, faktor psikologis
juga berpengaruh. Bila seseorang sudah merasa dirinya sensitif, maka berapapun
kadar yang ada, MSG Complex Syndrome akan terjadi. Sebaliknya, ada kelompok
lain yang memerlukan dosis MSG lebih tinggi dibanding rata-rata orang, untuk
mendapatkan sensasi rasa lezat. Diduga, paparan terus menerus menyebabkan
peninggian ambang rangsang reseptor di otak untuk asam glutamat.
Begitupun, menyadari tingginya konsumsi MSG di wilayah Asia, WHO
menggunakan MSG untuk program fortifikasi vitamin A. Di Indonesia pernah
dilakukan pada tahun 1996. Juga, penggunaan MSG bisa menjadi salah satu pilihan
dalam menurunkan konsumsi garam (sodium) yang berhubungan dengan kejadian
hipertensi khususnya pada golongan manula. Hal ini karena untuk mencapai efek
rasa yang sama, MSG hanya mengandung 30% natrium dibanding garam.
Sementara itu, Jurnal Nutritional Sciences tahun 2000 melaporkan, kadar
asam glutamat dalam darah manusia mulai meningkat setelah konsumsi MSG 30 mg/kg
berat badan/hari, yang berarti sudah mulai melampaui kemampuan metabolisme
tubuh. Bila masih dalam batas terkendali, peningkatan kadar ini akan menurun
kembali ke kadar normal atau seperti kadar semula dalam 3 jam. Peningkatan yang
signifikan baru mulai terjadi pada konsumsi 150 mg/kg berat badan/hari. Efek
ini makin kuat bila konsumsi ini bersifat jangka pendek dan besar atau dalam
dosis tinggi (3 gr atau lebih dalam sekali makan). Juga ternyata MSG lebih
mudah menimbulkan efek bila tersaji dalam bentuk makanan berkuah.
Sebenarnya hampir semua bahan makanan sudah mengandung glutamat. Dalam
urutan makin tinggi, beberapa diantaranya mengandung kadar tinggi seperti :
susu, telur, daging, ikan, ayam, kentang, jagung, tomat, brokoli, jamur,
anggur, kecap, saus dan keju. Termasuk dalam hal ini juga bumbu-bumbu penyedap
alami seperti vanili atau daun pandan. Melihat hasil penelitian untuk batasan
metabolisme (30 mg/kg/hari) berarti rata-rata dalam sehari dibatasi penambahan
maksimal 2,5 – 3,5 g MSG (berat badan 50 – 70 kg), dan tidak boleh dalam dosis
tinggi sekaligus. Sementara, satu sendok teh rata-rata berisi 4 – 6 gram MSG.
Masalahnya, sumber penambahan MSG sering tidak disadari pada beberapa sajian
berkuah, sehingga tidak semata-mata penambahan dari MSG yang sengaja
ditambahkan atau yang dari sediaan di meja makan. Masih belum dicapai
kesepakatan mengenai glutamat dari sumber alamiah dan non alamiah ini. Sejauh
ini dinyatakan tidak ada perbedaan proses metabolisme di dalam tubuh diantara
keduanya. Yang jelas, aturan FDA tidak mengharuskan pencantuman dalam label
untuk glutamat dalam bahan-bahan alamiah tersebut.
Yang perlu disadari, seringkali makanan kemasan tidak mencantumkan MSG
ini secara jelas. Banyak nama lain yang sebenarnya juga mengandung MSG seperti
: penyedap rasa, hydrolized protein, yeast food, natural flavoring, modified
starch, textured protein, autolyzed yeast, seasoned salt, soy protein dan
istilah-istilah sejenis. Akibatnya, kadar asam glutamat sesungguhnya,
seringkali tidak seperti yang dicantumkan. Aturan mengharuskan pencantuman
komposisi dalam kemasan harus jelas agar konsumen dapat mempertimbangkannya
sesuai kondisi masing-masing.
Menyikapi hasil
penelitian yang masih diliputi kontroversi, ada satu kekhawatiran bahwa efek
MSG ini memang bersifat lambat. Seperti pada penelitian terhadap hewan, efek
tidak terjadi dalam jangka pendek, tetapi setelah konsumsi jangka panjang meski
dalam dosis rendah. Sayang penelitian jangka panjang tentu saja sulit dilakukan
pada manusia. Diduga, akumulasi terus menerus dalam dosis rendah ini yang perlu
diwaspadai. Di sisi lain, sebenarnya berusaha beralih ke penyedap rasa alami,
memang lebih baik. Meski begitu, bagi yang sudah terbiasa memang tidak mudah,
karena ada semacam kecanduan terhadap efek MSG ini terhadap reseptor di otak
pemberi rasa sedap.
E.
Solusi
·
Untuk membuat masakan lebih sedap, gunakanlah
bumbu bawang merah, bawang putih, tomat, gula, garam, kaldu ayam atau sapi
alami, dan bumbu dapur lainnya yang mengandung senyawa glutamate alami.
·
Hati-hati dalam memilih produk makanan karena di
khawatirkan mengandung MSG, lebih baik kita membuat sendiri makanan yang akan
kita konsumsi secara alami sehingga bebas dari kandungan MSG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar